Baca Juga
Sejarah telah mencatat berbagai peristiwa tragis yang di alami oleh tokoh dunia, salah satunya pembunuhan politik telah menjadi cara penyingkiran seorang pemimpin politik dari kekuasaannya. Ada banyak sekali pemimpin politik di dunia, termasuk Presiden, yang menjadi korban pembunuhan politik.
Mereka harus merelakan nyawanya hanya karena berpedaan kepentingan, berikut ulasannya!
Dikenal sebagai founding father Kongo dengan gerakan “évolués” tak membuatnya hidup terjamin, malahan Patrice Lumumba harus dieksekusi mati, dibakar hidup-hidup dan dimutilasi bersama dua rekannya pada tahun 1961.
Warga Kongo kini sangat menyesali kepergiannya. Banyak yang menduga pelengseran ini didalangi oleh kolonialisme Belgia, imperialisme AS dan elit-elit Kongo nggak nyaman dengan kemerdekaan Kongo.
Di jaman penjajahan Jepang, Korea Selatan dulu punya seorang presiden yang dikenal sangat otoriter dan ambisius, yakni Park Chung-Hee. Sebelum menjabat sebagai presiden, Park menghabiskan masa mudanya berlatih di akademi militer Changchun atas bantuan seorang kolonel Jepang bernama Arikawa.
Prestasi Park maju pesat, kurang dari 5 tahun dia sudah memimpin beberapa divisi dan berhasil dipromosikan sebagai mayor Jendral tahun 1953. 10 tahun kemudian Park berhasil menduduki kursi orang nomer satu negeri Gingseng itu.
Namun karena gaya kepemimpinannya yang otoriter, pada 26 Oktober 1979, Park mati oleh timah panas yang ditembakkan Kim Jae-Gyu direktur KCIA di Gungjeong-dong, Jongno-gu, Seoul.
Pernah diusir oleh pemerintah Rwanda gara-gara sukunya, suku Hutu yang melakukan pemberontakan atas genosida di Rwanda. Beberapa tahun tak terdengar, Ntaryamira kembali ke negaranya sebagai pejabat pertanian. Prestasinya pun melesat drastis manakala dirinya memimpin partai Burundi (FRODEBU) hingga dirinya terpilih sebagai presiden Burundi pada 5 Februari 1994.
Namun malang nasibnya, ketika dirinya terbang bersama presiden Rwanda Juvénal Habyarimana. pesawat yang mereka tumpangi jatuh akibat di tembak oleh sekelompok suku Interahamwe. Cyprien Ntaryamira dilaporkan tewas dengan tubuh hancur tak bersisa.
Putri mantan PM Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto ini juga harus mengalami nasib yang sama dengan ayahnya. Yakni tewas ditembak oleh pasukan ekstremis tak dikenal. Kejadian itu bermula saat mantan PM Pakistan tahun 1990 ini hendak mencalonkan diri pada pemilu Pakistan pada 2008. Bodohnya, Ia dan timnya berkampanye di Rawalpindi dekat ibukota Islamabad, Ia dan pendukungnya dijatuhi bom dan retetan tembakan dan akhirnya terbunuh.
William McKinley adalah salah satu presiden AS yang sangat singkat sekali masa kepemimpinannya yakni hanya 6 bulan. Perjuangan Willian agar bisa duduk di kursi orang nomor satu di negeri Paman Sam itu tidakalah mudah. Pria yang lahir di Niles, Ohio pada 29 Januari 1843 itu mengawali karir sebagai jaksa, kemudian Ia terjun ke dunia politik dan terpilih sebagai Gubernur Ohio. Pada tahun 1896, Ia berhasil terpilih sebagai presiden AS.
Namun saat dirinya menghadiri pameran di Buffalo New York, dia ditembak oleh seorang anarkis bernama Leon Csolgolsz Frank. 8 hari setelah perisitiwa penembakan, McKinley menghembuskan nafas terakhirnya.
Mohammad Anwar Al Sadat adalah Presiden ke-3 Mesir. Ia memerintah Mesir dari tahun 1970 hingga 1981. Karir Anwar Sadat dimulainya dengan menjadi anggota militer.
Di bawah pemerintahan Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat menempati sejumlah jabatan penting, seperti Menteri Negara (1954), Presiden Majelis Nasional (1960-1968), dan Wakil Presiden (1969).
Begitu Nasser wafat, Ia kemudian menjadi Presiden. Sadat memimpin Mesir hampir 11 tahun. Kebijakan Sadat yang paling kontroversial, terutama bagi pengikut Islam, adalah perjanjian damai dengan Israel.
Pada 6 Oktober 1981, saat menghadiri parade militer yang digelar di Kota Kairo, sekelompok militer memberondong Anwar Sadat. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Anwar Sadat tewas di tangan militernya sendiri.
Juan José Torres adalah Presiden ke-61 Bolivia. Ia memerintah tidak sampai setahun, yakni dari Oktober 1970 hingga Agustus 1971. Ia adalah seorang petinggi militer berfikiran progressif.
Torres berasal dari latar belakang keluarga miskin di Cochabamba. Pada tahun 1941, ia bergabung dengan militer. Sempat menjadi atase militer Bolivia di Brazil, duta besar di uruguay, dan Menteri perburuhan.
Pada tahun 1969, seorang militer reformis Alfredo Ovando melancarkan kudeta. Saat itu, Torres menjadi salah seorang tangan kanan Ovando. Torres berharap, Ovando melakukan reformasi lebih luas dan meninggalkan militer konservatif.
Pada tahun 1970, militer kanan melancarkan kontra-kudeta. Pertempuran terjadi di jalan-jalan. Saat itu, Ovando sudah memutuskan untuk mencari suaka di luar negeri. Dalam situasi itu, Torres justru berhasil memimpin militer kiri Bolivia untuk memenangkan pertempuran.
Toress pun melanjutkan kekuasaan Ovando. Begitu berkuasa, Torres mengambil sejumlah langkah revolusioner, seperti nasionalisasi sejumlah aset perusahaan AS dan mengusir Peace Corps (bentukan AS) keluar dari Bolivia. Torres juga berusaha mendekatkan Bolivia dengan Uni Soviet. Torres juga memangkas belanja militer untuk membiayai pendidikan.
Pada Juni 1971, pemerintahan Torres menyetujui pembentukan Majelis Kerakyatan (Asamblea Popular), yang dirancang sebagai “dual power” ala Lenin/Bolshevik di Rusia. Namun, kelompok sayap kanan juga merancang sebuah upaya untuk menggulingkan Torres.
Puncaknya, pada 21 Agustus 1971, militer sayap kanan yang dipimpin oleh Kolonel Hugo Banzer melancarkan kudeta. Torres pun akhinya diasingkan ke Buenos Aires, Argentina.
Namun, pada tahun 1976, militer Argentina di bawah Jorge Videla juga melancarkan kudeta. Begitu berkuasa, Videla terlibat dalam operasi condor untuk membasmi gerakan kiri di Amerika Latin. Dengan operasi condor ini pula, Torres ditembak mati oleh pasukan pembunuh suruhan Jorge Videla.
Mereka harus merelakan nyawanya hanya karena berpedaan kepentingan, berikut ulasannya!
Patrice Lumumba, Presiden Kongo
Dikenal sebagai founding father Kongo dengan gerakan “évolués” tak membuatnya hidup terjamin, malahan Patrice Lumumba harus dieksekusi mati, dibakar hidup-hidup dan dimutilasi bersama dua rekannya pada tahun 1961.
Warga Kongo kini sangat menyesali kepergiannya. Banyak yang menduga pelengseran ini didalangi oleh kolonialisme Belgia, imperialisme AS dan elit-elit Kongo nggak nyaman dengan kemerdekaan Kongo.
Park Chung-hee, Presiden Korea Selatan
Di jaman penjajahan Jepang, Korea Selatan dulu punya seorang presiden yang dikenal sangat otoriter dan ambisius, yakni Park Chung-Hee. Sebelum menjabat sebagai presiden, Park menghabiskan masa mudanya berlatih di akademi militer Changchun atas bantuan seorang kolonel Jepang bernama Arikawa.
Prestasi Park maju pesat, kurang dari 5 tahun dia sudah memimpin beberapa divisi dan berhasil dipromosikan sebagai mayor Jendral tahun 1953. 10 tahun kemudian Park berhasil menduduki kursi orang nomer satu negeri Gingseng itu.
Namun karena gaya kepemimpinannya yang otoriter, pada 26 Oktober 1979, Park mati oleh timah panas yang ditembakkan Kim Jae-Gyu direktur KCIA di Gungjeong-dong, Jongno-gu, Seoul.
Cyprien Ntaryamira, Presiden Burundi
Pernah diusir oleh pemerintah Rwanda gara-gara sukunya, suku Hutu yang melakukan pemberontakan atas genosida di Rwanda. Beberapa tahun tak terdengar, Ntaryamira kembali ke negaranya sebagai pejabat pertanian. Prestasinya pun melesat drastis manakala dirinya memimpin partai Burundi (FRODEBU) hingga dirinya terpilih sebagai presiden Burundi pada 5 Februari 1994.
Namun malang nasibnya, ketika dirinya terbang bersama presiden Rwanda Juvénal Habyarimana. pesawat yang mereka tumpangi jatuh akibat di tembak oleh sekelompok suku Interahamwe. Cyprien Ntaryamira dilaporkan tewas dengan tubuh hancur tak bersisa.
Benazir Bhutto, Perdana Mentri Pakistan
Putri mantan PM Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto ini juga harus mengalami nasib yang sama dengan ayahnya. Yakni tewas ditembak oleh pasukan ekstremis tak dikenal. Kejadian itu bermula saat mantan PM Pakistan tahun 1990 ini hendak mencalonkan diri pada pemilu Pakistan pada 2008. Bodohnya, Ia dan timnya berkampanye di Rawalpindi dekat ibukota Islamabad, Ia dan pendukungnya dijatuhi bom dan retetan tembakan dan akhirnya terbunuh.
William Mckinley, Presiden Amerika
William McKinley adalah salah satu presiden AS yang sangat singkat sekali masa kepemimpinannya yakni hanya 6 bulan. Perjuangan Willian agar bisa duduk di kursi orang nomor satu di negeri Paman Sam itu tidakalah mudah. Pria yang lahir di Niles, Ohio pada 29 Januari 1843 itu mengawali karir sebagai jaksa, kemudian Ia terjun ke dunia politik dan terpilih sebagai Gubernur Ohio. Pada tahun 1896, Ia berhasil terpilih sebagai presiden AS.
Namun saat dirinya menghadiri pameran di Buffalo New York, dia ditembak oleh seorang anarkis bernama Leon Csolgolsz Frank. 8 hari setelah perisitiwa penembakan, McKinley menghembuskan nafas terakhirnya.
Mohammad Anwar Al Sadat, Presiden Mesir
Mohammad Anwar Al Sadat adalah Presiden ke-3 Mesir. Ia memerintah Mesir dari tahun 1970 hingga 1981. Karir Anwar Sadat dimulainya dengan menjadi anggota militer.
Di bawah pemerintahan Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat menempati sejumlah jabatan penting, seperti Menteri Negara (1954), Presiden Majelis Nasional (1960-1968), dan Wakil Presiden (1969).
Begitu Nasser wafat, Ia kemudian menjadi Presiden. Sadat memimpin Mesir hampir 11 tahun. Kebijakan Sadat yang paling kontroversial, terutama bagi pengikut Islam, adalah perjanjian damai dengan Israel.
Pada 6 Oktober 1981, saat menghadiri parade militer yang digelar di Kota Kairo, sekelompok militer memberondong Anwar Sadat. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Anwar Sadat tewas di tangan militernya sendiri.
Juan José Torres, Presiden Bolivia
Juan José Torres adalah Presiden ke-61 Bolivia. Ia memerintah tidak sampai setahun, yakni dari Oktober 1970 hingga Agustus 1971. Ia adalah seorang petinggi militer berfikiran progressif.
Torres berasal dari latar belakang keluarga miskin di Cochabamba. Pada tahun 1941, ia bergabung dengan militer. Sempat menjadi atase militer Bolivia di Brazil, duta besar di uruguay, dan Menteri perburuhan.
Pada tahun 1969, seorang militer reformis Alfredo Ovando melancarkan kudeta. Saat itu, Torres menjadi salah seorang tangan kanan Ovando. Torres berharap, Ovando melakukan reformasi lebih luas dan meninggalkan militer konservatif.
Pada tahun 1970, militer kanan melancarkan kontra-kudeta. Pertempuran terjadi di jalan-jalan. Saat itu, Ovando sudah memutuskan untuk mencari suaka di luar negeri. Dalam situasi itu, Torres justru berhasil memimpin militer kiri Bolivia untuk memenangkan pertempuran.
Toress pun melanjutkan kekuasaan Ovando. Begitu berkuasa, Torres mengambil sejumlah langkah revolusioner, seperti nasionalisasi sejumlah aset perusahaan AS dan mengusir Peace Corps (bentukan AS) keluar dari Bolivia. Torres juga berusaha mendekatkan Bolivia dengan Uni Soviet. Torres juga memangkas belanja militer untuk membiayai pendidikan.
Pada Juni 1971, pemerintahan Torres menyetujui pembentukan Majelis Kerakyatan (Asamblea Popular), yang dirancang sebagai “dual power” ala Lenin/Bolshevik di Rusia. Namun, kelompok sayap kanan juga merancang sebuah upaya untuk menggulingkan Torres.
Puncaknya, pada 21 Agustus 1971, militer sayap kanan yang dipimpin oleh Kolonel Hugo Banzer melancarkan kudeta. Torres pun akhinya diasingkan ke Buenos Aires, Argentina.
Namun, pada tahun 1976, militer Argentina di bawah Jorge Videla juga melancarkan kudeta. Begitu berkuasa, Videla terlibat dalam operasi condor untuk membasmi gerakan kiri di Amerika Latin. Dengan operasi condor ini pula, Torres ditembak mati oleh pasukan pembunuh suruhan Jorge Videla.
7 Presiden Ini Menjadi Korban Pembunuhan Politik
4/
5
Oleh
Unknown